Altruisme

Oleh : Muhammad Sholeh*)




Sadar atau tidak, teori kehendak untuk berkuasa (Der Wille zur Macht) milik Friederich Nietzsche (1844-1900) telah benar-benar dipraktekkan secara negatif oleh kebanyakan masyarakat kita. Kehendak berkuasa masyarakat kita lebih bersifat personal dan cenderung pada penafian terhadap yang lain. Bukan menjadi dorongan psikologis yang bersifat komunal dan berorientasi pada kebangkitan bersama yang universal.

Teman-teman wartawan tertawa-tawa, atau paling tidak tersenyum menyaksikan guntingan koran hasil tulisan sesama wartawan yang ditempel di dinding tempat penyebar kabar itu biasa berkumpul. Sepele, gara-gara ada satu kata yang digunakan secara serampangan oleh si penulis; Altruisme.

Bisa jadi mereka tertawa karena diksi dan penempatannya yang terasa 'wagu', atau bisa jadi juga mereka tertawa justru karena tidak mengerti maksudnya. Atau, ini yang menghawatirkan, mereka malah menertawakan maksud dari kata altruisme yang sebenarnya memiliki nilai ideal yang luhur.

Altruisme atau dalam bahasa inggris; altruism, memiliki arti mementingkan kepentingan orang lain. Bahasa Arab modern menyebutnya Al Ghairiyyah yang artinya kurang lebih sama; menyukai orang lain. Altruisme biasa dikontradiksikan dengan kata egoisme yang lazim dimaknai mementingkan diri sendiri. Kata ini, tentu saja menurut saya, adalah ungkapan atau verbalisasi atas suatu perilaku dan sikap (behavior and attitude), bukan sekedar perbuatan (deed).

Toh, seandainya teman-teman wartawan memang menertawakan makna sesungguhnya dari kata altruisme, bukan kemudian menjadi sesuatu yang asing. Pemandangan kehidupan sosial dan politik yang dimiliki masyarakat kita sekarang sudah cukup membuat aksi teman wartawan hanya sebagai riak kecil dari serangkaian gelombang besar yang membinasakan.

Juga tidak mengagetkan, karena setiap saat mata ini menjadi saksi dari ego pribadi yang selalu memenangi. Sewaktu BLT diluncurnkan, masyarakat kita berlomba menjadi orang yang paling kere. Ketika sakit dan harus dirawat inap, tiba-tiba seorang juragan berkecukupan mendadak melarat dan membutuhkan uluran tangan. Program LPG pengganti minyak tanah, seketika semua mengaku berpenghasilan rendah.

Para pemimpin juga banyak yang tidak jauh berbeda. Perebutan pengaruh dan kekuasaan, telah membuat lupa bahwa mereka sebenarnya sedang menjadi panutan bagi rakyatnya. Lupa bahwa mereka juga rakyat, ribuan politisi berlomba membohongi rakyat. Lusinan tokoh agama yang seharusnya manditha, juga lupa, beramai dan berlomba mengejar amanat. Miris.

Lupa dan alpa begitu mudah tiba, bahwa di luar diri sendiri terdapat jutaan diri lain yang memiliki eksistensi yang sama. Kesetaraan dan kesamarataan begitu mudahnya diartikan; kamu dapat saya juga harus dapat. Diri ini lebih agung, lebih berhak dan lebih mulia dari lainnya. Dan oleh karenanya, berhimpit, berjubel, berdesakan dan hampir tidak ada ruang untuk tepaslira.

Altruisme yang sebelumnya menjadi corak Indonesia, bahkan agama, sekarang hanya sisa-sisa. Petuah bertuah yang dipesankan Raden Qasim, lebih dikenal dengan Sunan Drajat, sejak 539 tahun yang lalu, telah hampir memudar. Sudah sedikit yang peduli dengan pesan; berikan tongkat kepada orang buta, berikan makanan pada orang lapar, berikan pakaian pada orang telanjang dan berikan tempat berteduh pada orang yang kehujanan.

Sadar atau tidak, teori kehendak untuk berkuasa (Der Wille zur Macht) milik Friederich Nietzsche (1844-1900) telah benar-benar dipraktekkan secara negatif oleh kebanyakan masyarakat kita. Kehendak berkuasa masyarakat kita lebih bersifat personal dan cenderung pada penafian terhadap yang lain. Bukan menjadi dorongan psikologis yang bersifat komunal dan berorientasi pada kebangkitan bersama yang universal.

Kita masih belum bisa seperti sejarah orang-orang Yunani yang -karena kuatnya dorongan kehedak berkuasa- dengan gemilang membangun kebudayaan dan tradisi keilmuannya. Atau, jangan-jangan kita masih seperti sejarah bangsa Jerman yang -dengan menggunakan teori Nietzsche sebagai legitimasi akademiknya- meneriakkan slogan Deutschland Deutschland uber Alles.


*) Penulis adalah kader muda NU dan Sekretaris DKC Garda Bangsa Kabupaten Jombang
Selengkapnya...

Menimbang Panasnya Jombang Hasil Pileg 2009

Oleh : Muhammad Sholeh*)




Membaca konfigurasi anggota DPRD tersebut, sedikitnya bisa diprediksi dua kemungkian yang akan terjadi selama periode mereka. Pertama, proses pengambilan kebijakan daerah mungkin tidak akan pernah berjalan mulus. Lembaga perwakilan akan menjadi semacam batu sandungan bagi kepentingan pemerintah. Sedikit saja pemerintah terpeleset, akan terjadi kobaran api yang siap memanaskan Jombang.

Meski belum ada pengumuman resmi dari KPUD Jombang, nama-nama Caleg yang berhasil lolos dalam Pemilu legislatif 9 April lalu sudah dapat dibaca. Nama-nama yang memiliki 'catatan kelam' dengan Bupati Jombang Suyanto, dipastikan berhasil memperoleh tiket perwakilan dari konstituennya.

Di partai Golkar ada nama Nyono Suherli yang sebelumnya pernah menjadi rival Suyanto pada Pilkada 2008. Juga nama Mastur Baidlawi, manta PNS yang pernah 'dijegal' karirnya oleh Suyanto pada periode pertama kepemimpinannya di Jombang. Saat itu, Mastur Baidlawi yang pernah bersaing dengan Suyanto dalam Pilkada 2003, ditunjuk menjadi kepala BUMD Perkebuan Pangklungan. 'Diwonosalamkan', begitu istilah yang dikenal.

Ada lagi Partai Amanat Nasional (PAN). Saikhu, 'anak emas' Ali Fikri, wakil Bupati Suyanto pada periode pertamanya, berhasil lolos ke Wakhid Hasyim. Ali Fikri dikenal pernah sakit hati dengan Suyanto gara-gara dikhianati pada saat Pilkada 2008 lalu. Ia tidak jadi digandeng sebagai pasangan Suyanto hanya dua hari menjelang penutupan pendaftaran Calon Bupati dan Wakil Bupati. Praktis Ali Fikri yang saat itu masih berminat maju, begitu saja kehilangan waktu untuk menata langkahnya.

Di PKB ada Sholihin Ruslie. Pria pengacara inilah yang pada tahun 2008 pernah menggalang demo besar-besaran di kantor Pemkab. Kebijakan Suyanto soal pasar Mojoagung dituding tidak memiliki 'sense of justice'. Perangainya yang keras, akan bisa 'membakar' DPRD seperti ia berhasil membakar amarh Suyanto pada saat demo pedagang pasar.

Membaca konfigurasi anggota DPRD tersebut, sedikitnya bisa diprediksi dua kemungkian yang akan terjadi selama periode mereka. Pertama, proses pengambilan kebijakan daerah mungkin tidak akan pernah berjalan mulus. Lembaga perwakilan akan menjadi semacam batu sandungan bagi kepentingan pemerintah. Sedikit saja pemerintah terpeleset, akan terjadi kobaran api yang siap memanaskan Jombang.

Andai yang demikian terjadi, maka pembangunan akan terhambat. Meski mengatasnamakan kepentingan rakyat, bila 'dinamika' yang dikembangkan figur-figur tersebut berlebihan maka dampaknya juga akan sampai pada rakyat. Pengalokasian anggaran akan alot, Perda bisa gagal dan banyak lainnya. Pemerintahan tidak kondusif.

Kemungkinan kedua, juga akan ada semacam 'pertikaian' antara lembaga perwakilan dengan pemerintah. Berbekal 'catatan kelam' yang dimilikinya, figur-figur tersebut akan mudah saja bermain. 'Pertikaian' akan sengaja dibangun sejak awal untuk bisa memastikan besaran kompensasi yang akan dimasukkan pemerintah ke dalam saku para anggota lembaga perwaikilan.

Andai yang demikian terjadi, maka kembali rakyat yang harus menanggu dampaknya. Na'udzubillah Min Dzalik..

*) Penulis adalah kader muda NU dan Sekretaris DKC Garda Bangsa Kabupaten Jombang
Selengkapnya...

Catatan Pileg 2009 (bag-2)
MENUNGGU PROAKTIF PANWASLU

Oleh : Muhammad Sholeh*)




Di Jombang, kesungguhan ke arah penyelesaian pelanggaran belum terlihat memadai. Kasus distribusi LPG program konversi minyak tanah yang di tumpangi dengan alat peraga kampanye salah satu Caleg, tidak terdengar kabar beritanya. Paling baru, kasus beredarnya video pemungutan suara di TPS I Desa Sumbernongko Kecamatan Ngusikan yang menggambarkan adanya pelanggaran, cukup diselesaikan dengan cara pemungutan suara ulang. Ada kesan usaha membawa kasus Sumbernongko ke tindak pidana pemilu berjalan setengah hati.

Faj bin Ml, remaja berusia 18 tahun tertunduk lesu di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Bireuen Nangro Aceh Darussalam. Gara-gara merusak baliho salah satu Caleg, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut warga Cot Rabo Tunong Kecamatan Peusangan tersebut dengan ancaman 6 bulan penjara dan denda 6 juta rupiah. Perbuatan sepele yang kelak akan merampas sekian waktu kebebasannya.
Belas kasih belum benar-benar kering sebetulnya. Hati ini cukup bisa ikut merasakan kesedihan remaja yang seharusnya menghabiskan waktu di bangku sekolah itu. Senda gurau dengan teman saat jajan, keriangan saat loceng pulang berdentang atau saat malu dimarahi ibu guru, untuk beberapa waktu musnah begitu saja akibat perbuatan yang sebenarnya mudah dimaafkan.
Namun UU 10 tahun 2008 tentang Pemilu terlanjur menjeratnya. Walaupun langit runtuh hukum harus ditegakkan, demikian adagium yang berlaku di dunia hukum. Kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa supremasi hukum hanyalah mimpi. Demokrasi yang dicita-citakan dan sedang kita bangun bersama saat ini, mengharuskan penegakan pilar-pilarnya meski harus mengorbankan anak ingusan. Terima kasih Gakkumdu dan Panwaslu Kabupaten Bireuen. Maaf dan harap maklum, Faj bin Ml.
Kisah yang kurang lebih sama juga terjadi di luar Aceh. Karena keseriusan Panwaslu dan Gakkumdu di wilayahnya, beberapa orang harus duduk di depan meja hijau atas dugaan pidana Pemilu. Tonaji warga Pakusari Jember divonis 4 bulan dan denda 4 juta rupiah. Seorang guru PNS, Ahmad Fahrurazi di Mataram, harus menjalani hukuman 3 bulan dan denda 3 juta rupiah. Juga Mubalighul Haq, PNS kota Bima, pegawai PPL berinisial M warga Kediri, dan banyak lainnya.
Hingga Rabu, 16 Apirl 2009, Panwaslu Bali mencatat sedikitnya 14 pelanggaran Tipilu berupa politik uang. Hanya satu yang berhasil diseret ke meja hijau. Lainnya, gugur di tengah jalan karena tidak ada saksi yang bersedia memberikan keterangan. Angka yang cukup kecil sebenarnya, tapi itu sudah cukup membuktikan bahwa proses pengawasan berjalan di sana.
Kasus serupa juga terjadi di Sidoarjo. Usaha pembuktian tindakan pidana Pemilu juga kandas. Oleh pengadilan negeri, Mahmudatul Fatchiyah, Caleg DPRD setempat dibebaskan dari segala tuntutan. Banyak yang menuding itu layaknya sandiwara, tapi tidak masalah. Pengadilan memiliki alur logika sendiri dan Panwaslu serta Gakkumdu di sana terbukti tidak diam.
Sia-sia? Sama sekali tidak! Hasil akhir dari penanganan kasus Tipilu oleh Panwaslu dan implementasi tugas serta kewajiban Panwaslu -sebagaimana diatur dalam UU 10/2008 dan Peraturan Bawaslu No. 4 tahun 2008 tentang Mekanisme Pengawasan- adalah dua hal yang berbeda. Kerja penanganan Panwaslu ada pada proses, sementara hasil akhirnya, biarkan nanti pengadilan yang menentukan.
Di Jombang, kesungguhan ke arah penyelesaian pelanggaran belum terlihat memadai. Kasus distribusi LPG program konversi minyak tanah yang di tumpangi dengan alat peraga kampanye salah satu Caleg, tidak terdengar kabar beritanya. Paling baru, kasus beredarnya video pemungutan suara di TPS I Desa Sumbernongko Kecamatan Ngusikan yang menggambarkan adanya pelanggaran, cukup diselesaikan dengan cara pemungutan suara ulang. Ada kesan usaha membawa kasus Sumbernongko ke tindak pidana pemilu berjalan setengah hati.
Hingga hari ke lima sejak diajukannya laporan, Panwaslu bahkan belum bisa memastikan ada tidaknya Tipilu dalam kasus tersebut. Menurut pasal 247 ayat (7) UU 10/2008, batas waktu maksimal yang dimiliki Panwaslu untuk mengkaji suatu kasus adalah 5 hari. Dengan demikian, tertutuplah pintu tindaklanjut Tipilu Sumbernongko.
Hal lain yang mengesankan Panwaslu setengah hati dalam menangani dugaan Tipilu dalam kasus Sumbernongko, terlihat pada ketergantungannya terhadap prosedur pelaporan. Padahal, menurut Perbawaslu No. 4/2008 tidak seperti itu. Ayat (1) item (19) menyebutkan, maksud dari istilah temuan yang nantinya ditangani Panwaslu adalah hasil pengawasan yang didapat secara langsung maupun tidak langsung berupa data atau informasi tentang dugaan terjadinya pelanggaran Pemilu. Dari perspektif tersebut, sebenarnya Panwaslu cukup memiliki ruang untuk pro aktif.
Semangat kerja yang berorientasi pada terlaksananya Pemilu yang berkualias menjadi tanggung jawab besar Panwaslu. Oleh karena itu, seperti diamanatkan oleh Perbawaslu No. 4/2008 pasal (3), Panwaslu harus bisa menjamin terselenggaranya Pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil. Juga, berkualitas serta tidak melenceng dari peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu.
Dari sini, ketegasan bertindak mutlak diperlukan untuk menjamin kepatuhan warga negara terhadap peraturan perundangan. Pertimbangan lain juga perlu, misalnya kondusifitas dan stabilitas. Namun, keduanya tidak boleh mengalahkan kepentingan penegakan hukum dan keadilan. Mengedepankan kondusifitas dan stabilitas sama halnya mengembalikan perjalanan bangsa ini ke masa lampau. Dominasi keduanya akan melahirkan kesengsaraan yang terulang bagi bangsa ini. Pembungkaman hak berpendapat dan cengkeraman militer atas kedaulatan sipil, adalah sedikit contoh hasil dari teori stabilitas. Wallahua'lamu Bishawab.

*) Penulis adalah kader muda NU dan Sekretaris DKC Garda Bangsa Kabupaten Jombang
Selengkapnya...

Catatan Pileg 2009
POLITIK UANG SEBAGAI 'PEMBERONTAKAN' RAKYAT

Oleh : Muhammad Sholeh*)




Rendahnya partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu memang tidak selalu mengartikan kegagalan proses demokratisasi. Amerika yang dikenal sebagai ikon demokrasi saja, pada Pemilu 2006 hanya dihadiri oleh 36,5% pemilih. Persoalan tidak terletak pada tinggi rendahnya kehadiran, tapi perubahan pola perilaku pemilih. Mengedepankan politik uang dan menjatuhkan pilihan politik tanpa pertimbangan serius, sangat membahayakan kelangsungan kehidupan politik di tanah air.


Pemilu kemarin seperti lebaran. Begitu seorang teman menggambarkan hiruk pikuknya masyarakat pemilih, juga para Caleg dan tim suksenya, menjelang detik-detik pemungutan suara. Layaknya hari raya, masyarakat pemilih berubah menjadi anak kecil dan berharap mendapat angpao dari para Caleg. Jalanan ramai, pos kamling dan gang-gang penuh dengan warga yang menanti datangnya pembagi uang. Layaknya hari raya, suasana begitu ceria sekaligus mendebarkan.
Keesokan harinya, paska penghitungan surat suara, suasana berubah seratus delapan puluh derajat. Senyum manis dan obral janji para Caleg tidak ada lagi. Masyarakat pemilih kembali pada rutinitas kesehariannya. Para Caleg yang sebelumnya cukup ramah dan tidak bisa marah, berubah menjadi sejenis preman penagih hutang. Mereka murka dan berubah garang karena perolehan suaranya tidak sesuai dengan besarnya uang yang telah ia keluarkan.
Ya, Pemilu legislatif 9 April 2009 menjadi tamparan keras bagi partai politik dan para Calegnya. Parpol dan Caleg dibuat bulan-bulanan oleh perilaku pragmatis masyarakat pemilih. Meski sudah menerima uang dari caleg -bahkan dalam banyak kasus satu pemilih menerima uang dari 3 hingga 5 Caleg berbeda- tingkat kehadiran di TPS masih juga rendah.
Ada semacam spirit balas dendam pada Pemilu kali ini. Masyarakat pemilih yang selama lima tahun sebelumnya tidak pernah 'disapa' oleh Parpol, merasa jengkel karena tiba-tiba dihadapkan pada pentingnya mendukung Parpol demi tercipatanya pemerintahan yang, katanya, membela kepentingan rakyat. Rasa muak seketika meletus, dan memperdayai Parpol atau Caleg adalah satu-satunya cara yang rakyat bisa.
Dihadapkan pada cita-cita luhur membangun demokratisasi di tanah air ini, situasi demikian tentu sangat ironis. Harus segera direspon dan tidak boleh berlarut-larut. Jangan sampai kejengkelan dan kemuakan berubah menjadi ketidakpercayaan akut terhadap Parpol. Harus ditanamkan bersama, Parpol hingga saat ini masih menjadi institusi penting dalam proses berbangsa dan bernegara.
Rendahnya partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu memang tidak selalu mengartikan kegagalan proses demokratisasi. Amerika yang dikenal sebagai ikon demokrasi saja, pada Pemilu 2006 hanya dihadiri oleh 36,5% pemilih. Persoalan tidak terletak pada tinggi rendahnya kehadiran, tapi perubahan pola perilaku pemilih. Mengedepankan politik uang dan menjatuhkan pilihan politik tanpa pertimbangan serius, sangat membahayakan kelangsungan kehidupan politik di tanah air.
Perlu ada penyikapan yang bijaksana terhadap perubahan perilaku pemilih tersebut. Pragmatisme pemilih harus bisa dibaca sebagai 'pemberontakan' grass root terhadap Parpol yang selama ini dirasa statis dan jumud. Juga sebagai balas dendam atas perilaku tidak bermoral (korupsi, cabul dan lainnya) yang seringkali dipertontonkan oleh sebagian oknum parlemen dan Parpol. Yang terjadi selama ini, kehadiran Parpol sama sekali tidak dirasakan oleh pemilih selain ketika waktu sudah mendekati pelaksanaan Pemilu. Juga, teladan kesalehan sosial dan politik yang semakin memudar.
Oleh karena itu, butuh revitalisasi peran dan fungsi Parpol untuk bisa mengambil kembali kepercayaan dari rakyat. Juga koreksi terhadap perilaku politisi. Harus ada rumusan dan inovasi baru yang kongkrit, sehingga kehadiran partai betul-betul dirasakan oleh rakyat. Ini penting karena interaksi dan komunikasi politik Parpol selama ini masih bersifat elitis dan ekslusif. Hanya berlaku di sekitar kader dan pengurus partai, tidak sampai menyentuh langsung kepada akar rumput.
Dalam konteks ini, konsepsi 'day to day politic' menjadi sangat penting. Parpol menghadirkan dirinya tidak hanya setiap menjelang Pemilu, tapi setiap saat selama lembaganya masih eksis. Pendidikan politik sebagai salah satu kewajiban dan tujuan Parpol, sebagaimana diamanatkan UU Parpol No. 2 tahun 2008, harus bisa diaplikasikan secara baik dan tepat.
Tidak hanya itu, fungsi dan peran pembangunan civil society yang selama ini terkesan didominasi oleh LSM, menjadi bidang dan pola garap yang patut dipertimbangkan. Tidak tabu sebenarnya, karena partai sendiri adalah organisasi di luar pemerintahan atau NGO. Satu elemen milik partai yang masuk dalam pemerintahan hanyalah fraksi, sementara partai sendiri tetap Non Goverment Organization.
Diskusi dengan Winfried Weck, resident representatif Konrad Adenauer Stiftung di Indonesia, bersama rekan-rekan LSM di Yogya setahun yang lalu, ada kesimpulan yang sedikit menggelitik. Parpol di Indonesia, masih belum bisa mengoptimalkan peran dan fungsinya. Fokus dan konsentrasinya masih pada merebut kekuasaan secara membabi buta tanpa mendahulukan infrastruktur dukungan secara mapan. Ada yang terlupakan, bahwa Parpol adalah bagian dari civil society.
Merebut kekusasaan tentu saja tetap dimaklumi sebagai target utama Parpol. Namun demikian, target tidak akan bisa dicapai secara optimal tanpa memperhitungkan terpenuhinya instrumen yang mendukungnya, termasuk harmoni dan langgengnya komunikasi Parpol dengan pemilihnya. Penting untuk di catat, sejak terbukanya keran demokrasi paska runtuhnya Soeharto, belum ada Parpol yang berhasil mempertahankan kekuasaannya.

*) Penulis adalah kader muda NU dan Sekretaris DKC Garda Bangsa Kabupaten Jombang
Selengkapnya...

KEPERCAYAAN PUBLIK DAN POLITIK UANG
Oleh : Muhammad Sholeh*)




Politik uang adalah salah satu perilaku yang keluar dari norma keadilan. Politik uang yang dalam terminologi fiqh siyasi disebut sebagai 'siyasaturrisywah' (suap politik) mampu merubah segalanya. Seperti ditulis oleh DR. Adil Al Muthayyirat dalam artikelnya, Al Risywah, suap diharamkan oleh agama karena bisa merubah yang salah menjadi benar, sesuatu yang hina menjadi terhormat dan yang berhak menjadi tidak berhak.

Seseorang mengirimkan pesan pendek ke rubrik SMS di sebuah koran lokal. Ia menganalogkan berbagai terminologi Pemilu dengan dunia pertanian. Dapil digambarkan sebagai ladang, konstituen sebagai tanaman dan tim sukses sebagai pupuknya. Sedikit mengejutkan, ia juga menganalogkan bagi-bagi uang sebagai werengnya (hama pertanian).
Tidak diketahui motif dari analog yang dipesankan pengirim SMS tersebut. Bisa jadi analog itu muncul gara-gara ia sendiri adalah seorang Caleg yang tidak berdaya berhadapan dengan kuatnya dominasi modal dalam Pemilu 2009 ini -sebuah ekspresi keputusasaan. Atau boleh jadi SMS itu adalah suara lirih yang dibisikkan oleh seseorang yang sedang 'prihatin' menyaksikan pemilih dan Caleg yang cenderung transaksional. Wallahu a'lamu bisshowab.
Pesan yang hampir sama ditulis oleh seorang Caleg DPRD tingakat II di Jawa Tengah pada halaman web blognya. Menurutnya, politik uang sama dengan menabur benih korupsi. Uang yang keluar dari kantong para Caleg dan diterima para pemilihnya, kemudian hari akan diambil dari keringat rakyat dan kembali masuk ke kantongnya. Semakin besar yang dikeluarkan dari kantong, semakin besar uang rakyat yang nantinya akan masuk ke kantong.
Siapapun penulisnya dan apapun yang melatarbelakanginya, dua pesan tersebut cukup menarik perhatian. Caleg atau bukan si penulisnya, pesan tersebut adalah sebuah jeritan yang ingin menegaskan pertanian tidak akan baik hasilnya bila diserang hama. Pesan itu mendeklarasikan bahwa proses politik tidak akan menghasilkan out put yang diharapkan bila terus dibayangi dengan praktek uang.
Menarik karena pesan tersebut cukup paradok bila dihadapkan pada realita di lapangan. Satu sisi, pesan itu menggambarkan adanya sebuah kesadaran yang jernih bahwa proses politik harus bisa menghasilkan out put yang diharapkan. Sementara pada sisi lain, realitas di lapangan menunjukkan praktek-praktek politik uang masih terus berlanjut. Dua hal yang saling bertentangan.
Ada apa sebenarnya dengan dunia perpolitikan kita? Regulasi dan perundangan yang menjadi rule of the game bagi pertarungan politik sudah semakin baik. Meski ada beberapa yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), UU 10 tahun 2008 tentang Pemilu dipandang jauh lebih memenuhi unsur keadilan bila dibanding dengan UU sebelumnya. Ada apa sebenarnya?
Diskusi dengan beberapa teman aktifis LSM, terlontar sebuah jawaban. Munculnya praktek uang lebih karena keputusasaan pemilih terhadap kinerja Parpol dan pemerintahan yang terbentuk. Masyarakat sudah jenuh dengan janji-janji dan gagasan perjuangan yang hanya manis di bibir. Kalau sebelumnya rakyat 'dipermainkan' oleh para politisi busuk, jangan salahkan bila sekarang ganti rakyat yang mempermainkan mereka.
Diskusi dengan beberapa teman aktifis Parpol, terlontar sebuah jawaban. Politik uang terpaksa harus dilakukan karena masyarakat pemilih sekarang berubah menjadi sangat pragmatis. Untuk mewujudkan idealisme dan perjuangan, politisi harus memenangi pertarungan politik dan bisa menarik simpati pemilih. Jangan salahkan bila para politisi menjadi busuk, semua itu gara-gara menuruti kemauan dan keinginan para pemilih busuk.
Tidak ada jawaban dan sekaligus solusi penyelesaiannya. Baik pemilih maupun yang dipilih sama-sama 'terpaksa'. Sama-sama tidak merasa bersalah. Menthok. Kedua pihak memiliki nalar yang cukup beralasan. Permasalahan menjadi persis dengan menjawab pertanyaan; dulu mana ayam atau telor.
Namun demikian, ada satu hal yang bisa ditemukan pada masing-masing pihak. Baik pemilih maupun politisi sudah sama-sama kehilangan kepercayaan antara satu dengan yang lain. Pemilih tidak percaya, setelah memilih nanti aspirasi dan hak-haknya akan benar-benar diperjuangkan. Demikian juga politisi. Ia tidak begitu saja percaya pemilih akan memilihnya bila tidak diberi kompensasi uang. Demi cita-cita luhur, 'pengorbanan' dalam bentuk uang harus dilakukan.
Faktor kepercayaan (trust) menjadi sangat penting dalam kontek ketidakharmonisan interaksi antara pemilih dan politisi. Interaksi kedua pihak bisa berjalan baik bila keduanya saling bisa dipercaya dan mempercayai. Oleh karena itu, kepercayaan menjadi kunci utama atas out put proses politik yang sesuai dengan harapan, sekaligus tergesernya praktek politik uang.
Daya pilih (elektibilitas) seorang kandidat memang tidak seratus persen ditentukan oleh kepercayaan pemilih. Bisa saja ia terpilih lebih karena tebar pesona dan pencitraan yang tepat. Tapi, bila hal demikian berlangsung secara terus menerus, pemilih pasti akan belajar dari pengalamannya. Dan yang pasti, kepercayaan akan menipis serta ikatan psikopolitis antara pemilih dengan politisi akan memudar.
Situasi demikian sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika dan Eropa, situasi yang sama juga pernah dialami oleh pemilih dan lembaga-lebaga politik di sana. Seperti dirilis dalam laporan berkala Friedrich-Naumann-Stiftung (FNC), warga Amerika pernah mengalami 'frustasi politik' yang luar biasa akibat rendahnya kepedulian partai terhadap kesejahteraan masyarakat.
Kurang lebih sama juga terjadi di Eropa Barat. Partai dan lembaga politik lainnya kembali mendapat kepercayaan dari warga setelah berhasil merubah diri dengan memberikan pelayanan yang semestinya. Sebelumnya, lembaga-lebaga politik dituding hanya mementingkan lembaganya sendiri tanpa peduli dengan masalah-masalah yang langsung bersentuhan dengan masyarakat umum.
Oleh karena itu, agar segera keluar dari paradok 'telor dan ayam', cukup beralasan bila rasa saling percaya harus secepat mungkin dibangun secara bersama-sama. Momentum Pemilu 2009 menjadi sangat penting bagi catatan perjalan politik kita. Keputusan MK pada UU 10/2008 soal suara terbanyak yang dinilai cukup memenuhi rasa keadilan, tidak boleh menjadikan para Caleg dan pemilih justru melanggar norma-norma keadilan, termasuk diantaranya, politik uang.
Politik uang adalah salah satu perilaku yang keluar dari norma keadilan. Politik uang yang dalam terminologi fiqh siyasi disebut sebagai 'siyasaturrisywah' (suap politik) mampu merubah segalanya. Seperti ditulis oleh DR. Adil Al Muthayyirat dalam artikelnya, Al Risywah, suap diharamkan oleh agama karena bisa merubah yang salah menjadi benar, sesuatu yang hina menjadi terhormat dan yang berhak menjadi tidak berhak.
Daya ingat pemilih harus diperkuat. Menerima uang dari politisi sama dengan menerima tiket untuk bisa menyaksikan adegan penjarahan uang rakyat. Politisi tidak boleh melupakan, cita-cita luhur dan idealismenya tidak akan tercapai dengan memberi uang kepada pemilih. Kelak, ia hanya akan sibuk mengembalikan modalnya.
Sebagai bahan renungan dan peringatan bersama, pantas untuk menyebutkan penafsiran Gus Dur terhadap Al Qur'an Surat Attakatsur. Ayat (1) yang berbunyi 'Alhakum Attakatsur' yang biasa diartikan bermegah-megahan telah melalaikanmu, oleh Gus Dur juga dimaknai dengan persaingan memperebutkan suara dukungan politik telah melalaikanmu. Na'udzubillahi min dzalik.

* Penulis adalah kader muda NU dan sekretaris DKC Garda Bangsa Kabupaten Jombang
Selengkapnya...